ppds undip

Mahasiswa PPDS Anestesi Undip Bunuh Diri Karena Bullying, Kemenkes Turun Tangan

Dr. Aulia Risma Lestari, seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di Universitas Diponegoro (Undip), diduga melakukan bunuh diri sebagai akibat dari perundungan atau pelecehan yang dilakukan oleh teman sekelasnya.

Akun X @bambangsuling11 menyebarkan berita bahwa Aulia Risma Lestari mengakhiri hidupnya dengan menyuntikkan obat.

Dokter muda yang bekerja di RSUD Kardinah Tegal meninggal dunia akibat suntikan obat. Diduga tidak mampu menahan intimidasi selama di PPDS Anestesi Undip Semarang. Sebagaimana dikutip pada Kamis, 15 Agustus 2024, “Mohon bantuan RT-nya karena ada indikasi kasus ini ditutupi dengan menyebut korban sakit saraf kejepit.”

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) juga memperhatikan kasus ini. Kemenkes RI meminta penghentian sementara Program Anestesi Universitas Diponegoro di RSUP Dr. Kariadi melalui surat dengan nomor TK.02.02/D/44137/2024.

Dugaan Bunuh Diri Akibat Bullying

Dr. Aulia Risma Lestari, mahasiswa semester lima Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), disebutkan dalam sebuah utas di Twitter. Buku harian pribadinya mengungkapkan dugaan perundungan terhadapnya.

Utas tersebut menulis, “Yang meninggal sudah semester lima, tapi ditemukan buku harian selama PPDS (indikasi pelecehan).”

Selain itu, dikatakan bahwa PPDS Anestesi Undip berusaha untuk menyembunyikan insiden ini dengan mengatakan bahwa korban sering mengonsumsi obat karena sakit saraf kejepit.

Namun, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa buku harian korban menunjukkan bahwa korban tidak mampu menahan perundungan hingga akhirnya mati.

Dr. Aulia Risma Lestari, mahasiswa semester lima Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), disebutkan dalam sebuah utas di Twitter. Buku harian pribadinya mengungkapkan dugaan perundungan terhadapnya.

Utas tersebut menulis, “Yang meninggal sudah semester lima, tapi ditemukan buku harian selama PPDS (indikasi pelecehan).”

Selain itu, dikatakan bahwa PPDS Anestesi Undip berusaha untuk menyembunyikan insiden ini dengan mengatakan bahwa korban sering mengonsumsi obat karena sakit saraf kejepit.

Namun, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa buku harian korban menunjukkan bahwa korban tidak mampu menahan perundungan hingga akhirnya mati.

Polisi dan Pihak Kampus Terkesan Menutupi Kasus Ini

Selain itu, Utas mengatakan bahwa Kapolsek Gajahmungkur Kota Semarang Kompol Agus Hartono membantah bahwa ini adalah insiden bunuh diri.

Tapi izinkan korban disuntikkan obat anestesi dosis berat ke lengannya. Obat itu seharusnya disuntikkan melalui infus, sehingga korban dapat tidur. Kapolsek mengizinkan pengisian jurnal harian korban.

Selain itu, penulis menerima korespondensi dari mahasiswa lain yang menjalani PPDS Anestesi Undip yang menceritakan pengalaman mereka sendiri dan korban PPDS.

Di RS Kariadi, beban kerja PPDS Anestesi terlalu besar. 18 jam per hari adalah jam kerja normal tanpa giliran jaga. Masuk jam enam pagi dan pulang jam dua belas malam. Jika Anda dapat pulang jam sebelas malam, Anda akan pulang dengan cepat.

“Tidak jarang harus pulang jam 2 atau 3 pagi. Hari berikutnya harus standby lagi jam 6 pagi di RS. Ini berlangsung terus menerus selama masa studi 5 tahun. Jika dapat giliran jaga, maka jaga minimal 24 jam dan dapat diperpanjang hingga 5-6 hari tidak bisa pulang dari RS.”

Informasi yang tidak disebutkan namanya juga menyatakan bahwa RS Kariadi melakukan banyak operasi, hingga 120 pasien per hari. Oleh karena itu, PPDS sering harus melakukan operasi sambung menyambung lebih dari giliran jaganya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *